CARA MENGKAJI SANAD DAN MATAN HADIS NABI

Kajian Buku / Book Review

CARA MENGKAJI SANAD DAN MATAN HADIS NABI
Judul Buku : Metodologi Penelitian Hadis Nabi
Penulis : Prof. Dr. M. Syuhudi Ismail
Penerbit : Bulan Bintang, Jakarta
Terbit :  Cet. Ke-2 Februari 2007
Vol.: xii + 174 hlm; 21 cm

Oleh Surya Sukti

A.     Pendahuluan   
Buku ini boleh dikatakan sebagai buku pedoman ringkas untuk mengkaji hadis Nabi khususnya cara mengkaji sanad dan matan hadis. Tampaknya  M Syuhudi Ismail pengarang  buku ini  telah berusaha untuk menghindarkan diri dari “keruwetan” yang menjadi salah satu ciri khusus dalam Ilmu Hadis. Tentunya dengan tujuan agar mereka yang baru “melangkah” ke pengkajian dan penelitian hadis dapat mudah memahami uraian dalam buku ini.
Buku ini juga merupakan satu rangkaian dari beberapa buku yang telah ditulis dan diterbitkan sebelumnya. Karena itu agar pembaca lebih mudah memahami isi buku ini dianjurkan untuk menelaah buku-buku  karya M Syuhudi Ismail yang lain yang  diterbitkan sebelumnya, yakni:


1.    Pengantar Ilmu Hadis diterbitkan oleh “Angkasa” Bandung;
2.    Kaedah Kesahihan Sanad Hadis diterbitkan oleh “Berkah” Ujungpandang;
3.    Dampak Penyebaran Hadis Palsu diterbitkan oleh “Berkah” Ujungpandang;
4.    Cara Praktis Mencari Hadis diterbitkan oleh “Bulan Bintang” Jakarta; dan
5.    Sunnah menurut Para Pengingkarnya dan Upaya Pelestarian Sunnah oleh Para Pembelanya diterbitkan oleh “Yakis” Ujungpandang.

 

Menurut Syuhudi, ide penulisan buku ini sudah lama muncul di benaknya namun lebih terpacu lagi setelah dia mendapat undangan untuk menjadi pembicara dalam seminar yang diselenggarakan oleh Dirasah Ulya Pendidikan Tinggi Purnasarjana Agama Islam Medan, Sumatera Utara (sekarang Program Pascasarjana IAIN Sumut, pen.) pada bulan November 1991. Bahkan naskah buku ini semula diambil dari makalah, yang akan diajukan pada seminar itu,  dengan jumlah halaman yang  terlalu tebal untuk ukuran sebuah makalah biasa. Dari naskah makalah inilah kemudian diperbaiki sesuai dengan catatan-catatan pada waktu seminar hingga menjadi naskah buku yang dapat dinikmati khalayak pembaca secara luas.
Buku ini dengan sampul warna biru tua, berisi kata pengantar,   enam bab pembahasan dan bab kesimpulan, dilengkapi dengan gambar dan daftar kepustakaan. Bab I Pendahuluan; Bab II tentang latar belakang pentingnya penelitian hadis; Bab III tentang obyek, tujuan dan kemungkinan hasil penelitian hadis; Bab IV tentang takhrijul-hadis sebagai langkah awal kegiatan penelitian hadis; Bab V tentang langkah-langkah kegiatan penelitian sanad hadis; Bab VI tentang langkah-langkah penelitian matan hadis; dan Bab VII Kesimpulan. Apabila dilihat dari urut-urutan bab dapat diketahui bahwa isi buku sangat runtut dan alur pikirnya mudah diikuti pembaca. Di samping alurnya mudah diikuti, pembaca yang belum “akrab” dengan isitilah-istilah dalam Ilmu Hadis bisa mengenalnya sekilas karena dijelaskan terlebih dahulu di tiap awal judul dan sub judul seperti pengertian hadis, sanad dan matan hadis, takhrij hadis, dan sebagainya.

 

B.    Biografi M Syuhudi Ismail
Prof. Dr. Muhammad Syuhudi Ismail dilahirkan di Lumajang, Jawa Timur, pada tanggal 23 April 1943. Setelah menamatkan Sekolah Rakyat Negeri di Sidorejo,  Lumajang, Jawa Timur (1955), ia meneruskan pendidikannya ke Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) 4 tahun di Malang (tamat 1959); Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) di Yogyakarta (tamat 1961); Fakultas Syari’ah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) “Sunan Kalijaga” Yogyakarta, Cabang Makassar (kemudian menjadi IAIN “Alauddin” Makassar), berijazah Sarjana Muda (1965); Fakultas Syari’ah IAIN “Alauddin” Ujungpandang (tamat 1973); Studi Purna Sarjana (SPS) di Yogyakarta (Tahun Akademi 1978/1979),  dan Program Program Studi S2 pada Fakultas Pascasarjana IAIN “Syarif Hidayatullah “ Jakarta (tamat 1985).      Mengenai riwayat pekerjaannya, ia pernah menjadi pegawai Pengadilan Agama
Tinggi (Mahkamah Syar’iyyah Propinsi) di Ujungpandang (1962-1970); Kepala Bagian Kemahasiswaan dan Alumni IAIN “Alauddin” Ujungpandang (1973-1978); Sekretaris KOPERTAIS Wilayah VIII Sulawesi (1974-1982), dan Sekretaris Al-Jami’ah IAIN “Alauddin” Ujungpandang (1979-1982). Dalam pada itu, ia aktif pula berkecimpung di bidang pendidikan, terutama dalam kegiatannya sebagai staf pengajar di berbagai perguruan tinggi Islam di Ujungpandang, antara lain pada Fakultas Syari’ah IAIN “Alauddin” Ujungpandang (sejak 1967-sekarang); Fakultas Tarbiyah UNISMUH Makassar di Ujungpandang dan Enrekang (1974-1979); Fakultas Ushuluddin dan Syari’ah, Universitas Muslim
Indonesia (UMI) Ujungpandang (1976-1982), dan pada Pesantren IMMIM
Tamalanrea.

Di samping tugas-tugasnya sebagai pegawai dan pengajar, penulis giat pula dalam membuat karya-karya tulis dalam bentuk makalah, penelitian, bahan pidato, artikel, maupun diktat, baik untuk kepentingan kalangan IAIN “Alauddin” sendiri, atau untuk forum ilmiah lainnya, juga untuk dimuat dalam majalah atau suratkabar yang terbit di Ujungpandang atau di Jakarta. Bahkan telah ada pula karya tulisnya yang telah diterbitkan sebagai buku teks, seperti Pengantar Ilmu Hadis dan Menentukan Arah Kiblat dan Waktu Salat (keduanya diterbitkan di Bandung, 1987) dan Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan llmu Sejarah yang berasal dari disertasinya untuk meraih gelar Doktor dalam bidang Ilmu Hadis pada Fakultas Pascasarjana IAIN “Syarif Hidayatullah” Jakarta (Program Studi S3, tamat 1987).
Sementara itu, banyak pula makalah-makalah yang telah disusun oleh Syuhudi, baik yang ditulis selama ia mengikuti Studi Purna Sarjana di Yogyakarta maupun ketika ia mengikuti program-program S2 dan S3 di Jakarta. Ia juga turut menyumbangkan 13 judul entry untuk Ensiklopedi Islam (Proyek Peningkatan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama RI, Jakarta, 1987/1988).

C.    Urgensi Metodologi Penelitian Hadis
Pada bab pendahuluan, Bab I, dijelaskan urgensi dan latar belakang perlunya metodologi penelitian hadis sebagai pengantar. Mengapa metodologi penelitian hadis penting? Ada beberapa alasan yang dikemukakan. Pertama, karena hadis Nabi berbeda dengan Quran; kalau Quran semua periwatan ayat-ayatnya berlangsung secara mutawatir, sedang untuk hadis Nabi, sebagian periwayatannya berlangsung mutawatir dan sebagian lagi berlangsung secara ahad.(lihat h. 3). Kedua, banyak kitab hadis yang beredar di masyarakat dan dijadikan pegangan oleh umat Islam sebagai sumber ajaran Islam, sedangkan kitab-kitab itu disusun oleh penyusunnya setelah lama Nabi wafat. Jarak waktu antara Nabi wafat dan penyusunan kitab hadis itu dapat terjadi berbagai hal yang dapat menjadikan riwayat hadis itu menyalahi apa yang sebenarnya dari Nabi. (lihat h.4).  Dikenalkan juga istilah-istilah yang digunakan dalam ilmu sejarah, untuk penelitian matan atau naqd al-matn dikenal dengan istilah kritik intern atau an-naqd al-dakhil, atau an-naqd al-batini. Sedang untuk penelitian sanad atau naqd al-sanad, istilah yang dipakai dalam ilmu sejarah ialah kritik ekstern, atau an-naqd al-kharij, atau an-naqd al-zahiri. (lihat h.4-5).
*****
Apa yang melatar belakangi pentingnya penelitian hadis (Bab II), dijelaskan oleh penulis dalam bentuk uraian yang logis dan berdasarkan dalil-dalil naqliyah dan aqliyah. Menurut penulis ada 6 faktor yang menjadikan penelitian hadis berkedudukan sangat penting. Pertama, hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam, sebagaimana dapat dipahami dari surah al-Hasyr/59: 7, surah Ali Imran/3: 32, surah An-Nisa/4: 80, dan surah Al-Ahzab/33: 21. (lihat h. 7-9). Kedua, tidaklah seluruh hadis tertulis pada zaman Nabi (h.11). Ketiga, telah timbul berbagai pemalsuan hadis (h.13). Keempat, proses penghimpunan hadis yang memakan waktu lama (h.16). Kelima, jumlah kitab hadis yang banyak dengan metode penyusunan yang beragam (h.18). Keenam, telah terjadi periwayatan hadis secara makna (h.20).

D.    Objek, Tujuan dan Kemungkinan Hasil Penelitian Hadis
Pada Bab III dibahas objek, tujuan dan kemungkinan hasil penelitian hadis. Dijelaskan bahwa obyek penelitian hadis secara garis besar ada dua yaitu sanad hadis dan matan hadis. Beberapa pendapat ulama tentang sanad hadis dikutip untuk menunjukkan pentingnya meneliti sanad hadis. Seperti pendapat Muhammad bin Sirin (wafat 110 H / 728 M) yang menyatakan bahwa sesungguhnya pengetahuan hadis adalah agama maka perhatikanlah dari siapa kamu mengambil agamamu itu. Maksud perkataaan ini bahwa dalam menghadapi suatu hadis, maka sangat penting diteliti terlebih dahulu para periwayat yang terlibat dalam sanad hadis yang bersangkutan (lihat h. 23-24). Ulama yang lain, Abdullah bin al-Mubarak (wafat 181 H / 797 M) menyatakan bahwa sanad hadis merupakan bagian dari agama. Sekiranya sanad hadis tidak ada, niscaya siapa saja akan bebas menyatakan apa yang dikehendakinya. Ini berarti bahwa sanad hadis merupakan bagian penting dari riwayat hadis. Keberadaan suatu hadis ditentukan oleh keberadaan dan kualitas sanadnya (lihat h.24). Sedangkan perlunya penelitian matan hadis selain karena keadaan matan yang tidak dapat dilepaskan dari sanadnya saja, juga karena dalam periwayatan matan hadis dikenal periwayatan secara makna (riwayah bi al-ma’na) (h.26). Pengkaji kemungkina akan menghadapi kesulitan dalam penelitian matan hadis disebabkan beberapa faktor, yakni: (1) adanya periwayatan secara makna; (2) acuan yang digunakan sebagai pendekatan tidak satu macam saja; (3) latar belakang timbulnya petunjuk hadis tidak selalu mudah dapat diketahui; (4) adanya kandungan petunjuk hadis yang berkaitan dengan hal-hal yang berdimensi “supra rasional”; dan (5) masih langkanya kitab-kitab yang membahas secara khusus penelitian matan hadis (h.28).
Tujuan pokok penelitian hadis, baik dari segi sanad maupun dari segi matan,  adalah untuk mengetahui kualitas hadis yang diteliti. Kualitas hadis sangat perlu diketahui dalam hubungannya dengan kehujahan hadis yang bersangkutan. Hadis yang kualitasnya tidak memenuhi syarat tidak dapat digunakan sebagai hujah. Pemenuhan syarat itu diperlukan karena hadis merupakan salah satu sumber ajaran Islam. (h.28). Ulama terdahulu telah melakukan penelitian terhadap seluruh hadis yang ada, baik yang termuat dalam berbagai kitab hadis maupun yang termuat dalam berbagai kitab non-hadis. Muncul pertanyaan, apakah penelitian hadis masih diperlukan juga sekarang ini? Jawaban lugas yang diberikan penulis adalah bahwa penelitian ulang terhadap hadis yang telah pernah dinilai oleh ulama tetap saja bermanfaat. Bahkan ia merupakan upaya untuk mengetahui seberapa jauh tingkat akurasi penelitian ulama terhadap hadis yang mereka teliti, juga untuk menghindarkan diri dari penggunaan dalil hadis yang tidak memenuhi syarat dilihat dari segi kehujahan (h.29-30).
Kemungkina hasil penelitian terhadap hadis, menurut penulis, dapat dilihat dari dua segi yakni: (1) dilihat dari jumlah periwayat hadis; dan (2) dilihat dari kualitas sanad dan matan hadis (31-32). Apabila hadis yang diteliti ternyata berstatus mutawatir maka berakhirlah kegiatan penelitian terhadap hadis yang bersangkutan. Tegasnya tidak perlu dilakukan penelitian terhadap sanad dan matan hadis itu. Status mutawatir suatu hadis telah memberikan keyakinan yang pasti bahwa hadis tersebut benar-benar berasal dari Nabi Muhammad Saw. Apabila tidak berstatus mutawatir, jadi berstatus ahad maka kegiatan penelitian belum berakhir. Kegiatan penelitian terhadap hadis ahad baru dinyatakan berakhir atau selesai bila sanad dan matan hadis yang bersangkutan telah diteliti dan diketahui kualitasnya. Hasil penelitian hadis bila dilihat dari segi sanad dan matannya tidak terlepas dari empat kemungkinan, yakni: mungkin hadis yang bersangkutan berkualitas sahih, atau mungkin berkualitas hasan, atau mungkin berkualitas da’if, atau mungkin juga hadis yang diteliti itu ternyata hadis palsu (maudu’) (h.38).

E.    Takhrijul Hadis
Dalam Bab IV tentang takhrijul hadis sebagai langkah awal kegiatan penelitian hadis dijelaskan tiga aspek penting yang harus dipahami pengkaji hadis, yakni: (1) pengertian takhrijul hadis; (2) sebab-sebab perlunya kegiatan takhrijul hadis; dan (3) metode takhrijul hadis (h.41-50). Istilah takhrijul hadis sebagaimana yang sering digunakan oleh ulama hadis mengandung lima pengertian, yakni:
1.    mengemukakan hadis kepada orang banyak dengan menyebutkan para periwayatnya dalam sanad yang telah menyampaikan hadis itu dengan metode periwayatan yang mereka tempuh;
2.    ulama hadis mengmukakan berbagai hadis yang telah dikemukakan oleh para guru hadis, atau berbagai kitab, atau lainnya, yang susunannya dikemukakan berdasarkan riwayatnya sendiri, atau para gurunya, atau temannya, atau orang lain, dengan menerangkan siapa periwayatnya dari para penyusun kitab atau karya tulis yang dijadikan sumber pengambilan;
3.    menunjukkan asal usul hadis dan mengemukakan sumber pengambilannya dari berbagai kitab hadis yang disusun oleh para mukharrijnya langsung (yakni para periwayat yang juga penghimpun hadis yang mereka riwayatkan);
4.    mengemukakan hadis berdasarkan sumbernya atau berbagai sumbernya yakni kitab-kitab hadis, yang di dalamnya disertakan metode periwayatannya dan sanadnya masing-masing, serta diterangkan keadaan para periwayatnya dan kualitas hadisnya; dan
5.    menunjukkan atau mengemukakan letak asal hadis pada sumbernya yang asli, yakni berbagai kitab, yang di dalamnya dikemukakan hadis itu secara lengkap dengan sanadnya masing-masing; kemudian untuk kepentingan penelitian, dijelaskan kualitas hadis yang bersangkutan.
Dari lima pengertian di atas disimpulkan oleh penulis bahwa yang dimaksud takhrijul hadis untuk maksud kegiatan penelitian hadis lebih lanjut ialah pengertian yang dikemuakan pada butir kelima. Secara definitif dikemuakan pengertian takhrijul hadis dalam hal ini ialah penelusuran atau pencarian hadis pada berbagai kitab sebagai sumber asli dari hadis yang bersangkutan, yang di dalam sumber itu dikemukakan secara lengkap matan dan sanad hadis yang bersangkutan.
Sedangkan sebab-sebab perlunya kegiatan takhrijul-hadis ada tiga, yakni: (1) ingin mengetahui asal usul riwayat hadis yang akan diteliti; (2) ingin mengetahui seluruh riwayat hadis yang akan dieliti; dan (3) ingin mengetahui ada atau tidak adanya syahid dan mutabi’ pada sanad yang diteliti. Metode takhrijul-hadis ada 2 macam yakni: (1) metode takhrijul-hadis bi al-lafdz (penelusuran hadis melalui lafal); dan (2) metode takhrijul-hadis bi al-maudu’ (penelusuran hadis melalui topik masalah) dengan kitab-kitab rujukan yang diperlukan dan kemungkinan hasilnya (lihat h.45-50). Untuk kitab-kitab kamus hadis yang besar manfaatnya bagi kegiatan takhrijul hadis pengkaji dianjurkan menggunakan: (1) Usul at-Takrif wa Dirasat al-Asanid (Halb: al-Mathba’ah al-‘Arabiyyah, 1398 H / 1972 M, susunan Dr. Mahmud at-Tahhan; dan (2) Cara Praktis Mencari Hadis (Jakarta: Bulan Bintang 1412 H / 1991 M) susunan Dr. M. Syuhudi Ismail. Metode penelusuran hadis melalui lafal digunakan apabila hadis yang akan diteliti hanya diketahui sebagian saja dari matannya. Kitab-kitab yang diperlukan, selain kamus, ialah kitab-kitab hadis yang menjadi rujukan kamus hadis tersebut yang berjumlah sembilan buah, yakni Sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abi Daud, Sunan at-Turmuzi, Sunan an-Nasa’I, Sunan Ibnu Majah, Sunan ad-Darimi, Muatta’ Malik dan Musnad Ahmad bin Hanbal. Metode penelusuran hadis melalui topik masalah ialah apabila hadis yang akan diteliti itu tidak terikat pada lafal matan hadis, tetapi berdasarkan topik masalah. Misalnya, topik masalah yang diteliti adalah hadis tentang kawin kontrak atau nikah mut’ah. Untuk menelusurinya, diperlukan bantuan kitab kamus atau semacam kamus yang dapat memberikan keterangan tentang berbagai riwayat hadis tentang topic tersebut. Untuk itu kitab-kitab yang diperlukan sebagai rujukan ialah kitab kamus Miftah Kunuz al-Sunnah susunan Dr. A.J. Wensinck dkk.

F.    Prosedur Penelitian Sanad dan Matan Hadis
Langkah-langkah atau prosedur kegiatan penelitian sanad hadis dibahas pada Bab V. Dengan uraian yang agak rinci dan rumit mengenai langkah-langkah penelitian sanad hadis ini dijelaskan bahwa ada empat langkah  penting yang harus dilakukan, yakni: (1) melakukan takhrijul-hadis, sebagaimana juga telah dijelaskan di bab sebelumnya; (2) membuat i’tibar (yakni membuat skema tentang sanad hadis); (3) meneliti pribadi periwayat dan metode periwayatannya; dan (4) mengambil natijah (kesimpulan). (h.51-120). Untuk mempermudah proses kegiatan al-i’tibar, diperlukan pembuatan skema untuk seluruh sanad hadis yang akan diteliti. Dalam pembuatan skema, ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan, yakni: (1) jalur seluruh sanad; (2) nama-nama periwayat untuk seluruh sanad; dan (3) metode periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat. Langkah ketiga, yakni meneliti pribadi periwayat dan metode periwayatannya. Langkah ini hendaknya memperhatikan: (1) kaedah kesahihan sanad sebagai acuan yang meliputi: sanad hadis yang bersangkutan harus bersambung mulai dari mukharrij-nya sampai kepada Nabi; seluruh periwayat dalam hadis itu harus bersifat adil dan dabit; sanad dan matan hadis itu harus terhindar dari kejanggalan (syuzuz) cacat (illat); dan (2) segi-segi periwayat yang diteliti yang meliputi: kualitas pribadi periwayat; dan kapasitas intelektual periwayat. Langkah keempat dilakukan untuk menilai hadis yang diteliti terutama yang berkaitan dengan kelemahan yang ditemukan pada sanad hadis yang diteliti sehingga dapat ditetapkan  kategori tertentu pada hadis tersebut. Pembahasan mengenai langkah-langkah penelitian sanad hadis ini disertai contoh-contoh praktis yang sangat bermanfaat bagi pengkaji hadis pemula.
*****
Langkah-langkah penelitian matan hadis dibahas pada Bab VI. Dijelaskan bahwa langkah-langkah metodologis penelitian matan hadis ada empat, yakni: (1) meneliti matan dengan melihat kualitas sanadnya; (2) meneliti susunan lafal berbagai matan semakna; (3) meneliti kandungan matan; dan (4) menyimpulkan hasil penelitian matan (h.121-122). Langkah pertama, yakni meneliti matan dengan melihat kualitas sanadnya, hendaknya memperhatikan hal-hal berikut:  meneliti matan sesudah meneliti sanad; kualitas matan tidak selalu a130). Langkah kedua, yakni meneliti susunan lafal, hendaknya memperhatikan hal-hal berikut: terjadinya perbedaan lafal; dan akibat terjadinya perbedaan lafal. Langkah ketiga, yakni meneliti kandungan matan, hendaknya memperhatikan hal-hal berikut: membandingkan kandungan matan yang sejalan atau tidak bertentangan; membandingkan kandungan matan yang tidak sejalan atau tampak bertentangan. Langkah keempat, yakni menyimpulkan hasil penelitian matan, hendaknya memperhatikan bahwa kualitas matan hanya dikenal dua macam saja, yakni sahih dan da’if, maka kesimpulan penelitian matan akan berkisar pada dua kemungkinan tersebut. Selain dibahas secara teoritik juga dijelaskan beberapa contoh praktis tentang penelitian matan hadis (lihat h.146-158) sehingga memudahkan pengkaji untuk menerapkan langkah-langkah penelitian matan hadis.

G.    Kesimpulan Isi Buku
Kesimpulan pembahasan dari bab-bab sebelumnya ada di Bab VII. Kesimpulan ini merefleksikan tidak hanya dari segi materi-materi pembahasan pada bab-bab sebelumnya tetapi juga apresiasi dan penghargaan pengarang buku ini  kepada para ulama terdahulu yang telah merintis dan memberi jalan kepada Ilmu Hadis, khususnya metode-metode yang telah mereka tinggalkan untuk generasi berikutnya (h.159-161). Apresiasi kepada ulama hadis terdahulu ditulis dengan pernyataan berikut:
“Ulama hadis telah berjasa dalam upaya melestarikan hadis Nabi. Dengan melihat hadis Nabi sebagai riwayat yang memiliki karakteristik tersendiri, maka dalam upaya melestarikan hadis itu, ulama hadis telah menciptakan berbagai cabang pengetahuan, istilah dan kaedah yang berkaitan dengan sanad dan matan hadis. Salah satu hal penting yang berkaitan dengan hadis itu adalah metode penelitian yang telah ditempuh oleh ulama hadis dalam melaksanakan penelitian sanad dan matan hadis.” (h.159).

Dalam bab kesimpulan ini pembaca diingatkan bahwa dimensi penelitian hadis tidak hanya berada dalam kawasan dunia keilmuan semata tetapi juga dalam kawasan ajaran dan keyakinan agama. Karenanya dapat dipahami bilamana untuk kepentingan penelitian hadis diperlukan cukup banyak kitab rujukan dan cabang pengetahuan sebagai acuan. Beban tanggung jawab peneliti hadis yang besar tersebut mengisyaratkan bahwa kegiatan penelitian hadis oleh ahlinya adalah salah satu macam kegiatan ijtihad (h.161).

H.    Pemahaman Tekstual dan Kontekstual : Sebuah Refleksi
Pemahaman terhadap hadis secara umum terbagi menjadi dua (2) kelompok, yaitu pemahaman secara tekstual dan pemahaman secara kontekstual. Hal ini sudah terjadi sejak zaman Rasulullah sendiri. Kasus larangan Nabi shalat ‘Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraidlah dipahami oleh para Sahabat secara beragam. Sebagian sahabat memahami secara tekstual sehingga mereka tidak melaksanakan shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraidlah, walaupun waktunya telah lewat. Sementara sebagian yang lain memahaminya secara kontekstual dalam pengertian perintah untuk bergerak secara cepat menuju ke perkampungan mereka, sehingga tidaklah salah jika dalam perjalanan itu diselingi shalat ‘Ashar, kemudian melanjutkan gerak cepat tersebut. Salah satu media yang dapat dipakai untuk pengembamgan pemahaman hadis adalah pengetahuan tentang ilmu asbab al-wurud. Dari sini lahir dua (2) macam kaidah yang dipakai sebagai pedoman memahami nakna sebuah teks. Kaidah pertama “umum al-lafdl” lebih menekankan kepada keumuman lafal (makna universal) dalam memahami teks; dan kaidah kedua “khushush al-sabab” lebih memfokuskan kepada kekhususan sabab (makna parsial), yang penerapannya dilakukan dengan cara analogi (qiyas). Penerapan kaidah “khushush al-sabab” melibatkan kajian pada bidang-bidang lain yang terkait, seperti bahasa, sejarah sosial, dan budaya pada masa kehidupan Rasul dan masa kini. Dengan berpijak kepada asbab al-wurud maka pembaruan atau pengembangan pemahaman hadis kelihatan menjadi keniscayaan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Hal ini sejalan ungkapan ulama klasik bahwa Islam itu cocok untuk segala tempat dan zaman. Ada lagi ungkapan lain yang relevan yaitu bahwa perubahan fatwa atau hukum dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain perbedaan tempat, perubahan waktu, perbedaan kultural dan perbedaan motivasi pelaku.
Dengan demikian, seorang pengkaji hadis tidak cukup sekadar memahami periwayatan hadis dan pemaknaan secara tekstual namun diperlukan pemahaman  hadis secara kontekstual dengan pendekatan historisitas hadis. Beranjak dari historisitas hadis maka kita dapat memahami mengapa terjadi perbedaan pemahaman terhadap suatu hadis. Misalnya, hadis Nabi saw yang menyatakan “laa yuflihu kaumun wallaw amrahum imraatan” (Tidak akan beruntung suatu kaum apabila mereka menyerahkan pemerintahannya kepada seorang perempuan) yang secara tekstual dipahami perempuan tidak layak menjadi pemimpin di sektor publik. Namun bagi kalangan yang memahami historisitas hadis tersebut mereka berpandangan bahwa perempuan pada dasarnya tidak dilarang menjadi pemimpin di sektor publik apabila sosio kultural setempat memberi peluang dan kesempatan. (ss).