RESPON ELIT NU KALTENG TERHADAP DEMOKRASI PASCA ORDE BARU

RESPON ELIT NU KALTENG TERHADAP DEMOKRASI PASCA ORDE BARU

(KAJIAN ISLAM DAN POLITIK)[1] 

Oleh Surya Sukti[2] 

Email: [email protected]

A. Pendahuluan

Nahdlatul Ulama (NU) dengan cabang-cabangnya di seluruh Indonesia memiliki potensi untuk membangun bidang kehidupan sosial budaya dan politik Indonesia tanpa menjadi partai politik (Ali dalam Fachruddin, 2006). Organisasi kemasyarakatan Islam ini memiliki banyak pengalaman dalam mengorganisasikan masyarakat Indonesia untuk pengembangan potensi dan memfasilitasi masyarakat dalam menyelesaikan masalah. Upaya ini dapat dikategorikan sebagai “pendidikan politik” untuk masyarakat dalam pengertian luas, misalnya, membangkitkan kesadaran individu terhadap persoalan yang muncul dalam masyarakat, partisipasi dalam pembuatan keputusan, dan sebagainya (Fachruddin, 2006).

 

Sejak sebelum era reformasi NU secara aktif terlibat dalam program masyarakat sipil, termasuk pendidikan demokrasi, melalui sinergisme ajaran Islam dengan prinsip demokrasi Barat. Demikian pula di era reformasi  NU terus berkomitmen untuk membangun dan mempertahankan demokrasi di berbagai bidang kehidupan melalui program-program yang diselenggarakan organisasi tersebut.  NU sebagai organisasi non pemerintah terlibat dalam mensosialisasikan nilai-nilai yang sejalan dengan prinsip demokrasi, seperti toleransi dan sikap saling menghargai di antara anggotanya dengan memberikan pelatihan, lokakarya, dan program lain bagi anggotanya (Fachruddin, 2006). Sebelum Pemilu tahun 1999 NU ambil bagian dalam program pendidikan pemilih (voter education). Demikiam pula menjelang Pemilu tahun 2004 dan Pemilu tahun 2009. NU  menyelenggarakan program pemberdayaan masyarakat sipil (masyarakat madani), yang intinya tidak sektarian dan dengan pendekatan non-militer (Falaakh dalam Fachruddin, 2006). NU telah mengembangkan berbagai program seperti advokasi hak asasi manusia, advokasi kesadaran jender bagi umat Islam, pendidikan demokrasi di pedesaan, dan advokasi untuk pemerintahan yang baik (good governance) (Lakpesdam, 2006).

Sejak runtuhnya rezim Orde Baru dan bergulirnya era reformasi bangsa Indonesia memasuki fase transisi dari pemerintahan otoriter menuju suatu sistem pemerintahan yang lebih demokratis (Nordholt dan Klinken, 2007:1). Perubahan iklim politik pasca Orde Baru tersebut tidak saja dirasakan pada level nasional tetapi juga berimplikasi pada level daerah (lokal). Tidak hanya di tingkat pusat, dinamika politik di daerah-daerah pun memasuki era baru (Baswedan dalam Nordholt, 2007). Era ini ditandai dengan desentralisasi kekuasaan, menguatnya masyarakat sipil dan otonomi daerah.  Era transisi ini berimplikasi ganda. Di satu sisi memberi peluang yang makin lebar bagi masyarakat di daerah-daerah untuk mengekspresikan keinginan dan cita-cita mereka melalui proses demokratisasi. Namun di sisi lain memberi peluang munculnya politik sektarian dan euphoria politik sesaat. Kekhawatiran akan munculnya politik sektarian mengingat makin maraknya penggunaan politik identitas. Sementara itu juga ada kekhawatiran terseretnya organisasi massa Islam seperti  NU ke arena politik praktis, mengingat banyaknya elit politik yang berasal dari kader organisasi tersebut yang terlibat aktif  mendirikan dan mengelola partai-partai politik baik di tingkat pusat maupun di daerah-daerah.

Dalam konteks lokal Kalimantan Tengah (Kalteng) bergulirnya era reformasi telah membawa perubahan yang cukup signifikan dalam kehidupan sosial budaya dan politik di daerah ini. Proses demokratisasi itu sendiri sebagai proses dinamis yang tak kunjung selesai karena perkembangan kualitas kehidupan yang selalu menuntut tatanan yang lebih baik. Berkaitan dengan organisasi NU sebagai organisasi masyarakat sipil Islam terbesar di daerah ini, berdasarkan pengamatan sementara penulis ada beberapa  fenomena menarik yang muncul ke permukaan, yakni pertama, makin menguatnya partisipasi para elit NU setempat dalam proses demokratisasi seperti keterlibatan mereka dalam mendirikan dan mengelola partai politik, dan keterlibatan dalam pemilihan umum legislatif dan eksekutif (Pemilu 1999, 2004, 2009) Kedua, meningkatnya kegairahan kalangan warga NU setempat dalam mewacanakan relasi Islam dan demokrasi. Ketiga, meningkatnya partisipasi kalangan warga  NU setempat dalam upaya-upaya pencegahan dan penanganan konflik sosial yang mengarah pada disintegrasi bangsa.

Sebagaimana umumnya daerah-daerah lain di Indonesia, masyarakat Kalimantan Tengah adalah masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai unsur etnis, agama, budaya, dan taraf ekonomi. Selama rezim Orde Baru masyarakat daerah ini juga mengalami keterpasungan dalam jaring-jaring otoritarianisme. Hak-hak politik masyarakat sangat dibatasi untuk dapat mengakses kekuasaan. Perlakuan seperti ini adalah lumrah saat itu karena kebijakan politik Orde Baru tidak memberikan peluang bagi rotasi kekuasaan eksekutif secara terbuka. Hal ini berlaku tidak saja dalam proses politik di tingkat nasional tetapi juga di tingkat lokal (Gaffar, 2006).

Runtuhnya rezim Orde Baru dan bergulirnya era reformasi telah membawa perubahan ke arah kehidupan yang lebih demokratis. Rekruitmen politik lokal tidak lagi dilakukan secara tertutup. tetapi terbuka bagi segenap komponen masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif sejalan dengan semangat demokrasi. Seperti pemilihan gubernur dan bupati/walikota. Kondisi seperti ini tentunya tidak disia-siakan oleh kader-kader terbaik NU di daerah ini untuk ikut terjun ke kancah pemilihan kepala daerah (pilkada). Fenomena ini sangat berbeda bila dibandingkan dengan suasana ketika rezim Orde Baru berkuasa. Bergulirnya era reformasi dan keterbukaan juga memberi peluang yang lebih luas bagi kalangan nahdliyyin[3] di daerah ini untuk mewacanakan kembali (rethinking) tentang relasi Islam dan demokrasi, khususnya hubungan Islam dan negara dalam sistem politik Indonesia pasca rezim Orde Baru.

Beberapa fenomena di atas mendorong penulis untuk melakukan pengkajian lebih lanjut tentang respon elit  NU Kalteng terhadap demokrasi pasca Orde Baru. Ada empat pertanyaan pokok yang diajukan dalam kajian ini. Yakni, pertama, bagaimana pandangan elit NU Kalteng terhadap nilai-nilai demokrasi, HAM, dan kesetaraan jender. Kedua,  bagaimana  keterlibatan elit  NU Kalteng dalam proses demokratisasi (pemilu) di tingkat lokal pasca rezim Orde Baru (1998-2009). Ketiga, bagaimana pelaksanaan pendidikan demokrasi di kalangan nahdliyyin, dan keempat, bagaimana hubungan kerjasama NU Kalteng dengan organisasi masyarakat sipil yang lain.

Dengan demikian kajian ini bertujuan, pertama, mendeskripsikan pandangan para elit NU Kalteng terhadap nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan kesetaraan jender. Kedua, mendeskripsikan keterlibatan para elit NU Kalteng dalam proses demokratisasi (pemilu) di daerah setempat pasca rezim Orde Baru (1998-2009). Ketiga, pendidikan demokrasi di kalangan warga NU Kalteng, dan keempat, kerjasama NU Kalteng dengan organisasi masyarakat sipil yang lain. Kajian ini diharapkan memberi manfaat, pertama, memberi kontribusi keilmuan bagi pengembangan Ilmu Politik dan studi Politik Islam. Kedua,  memberi informasi dan masukan bagi  NU Kalteng dalam merumuskan kebijakan organisasi terutama yang berkaitan dengan kedudukan, fungsi dan peran Nahdlatul Ulama sebagai kekuatan masyarakat sipil Islam dalam membangun masyarakat Indonesia yang demokratis. Ketiga, memberi informasi dan masukan bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan tentang hubungan pemerintah dengan organisasi masyarakat sipil (OMS) terutama dalam konteks pembangunan di bidang politik dan  implementasi demokrasi di tingkat lokal

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field study), menggunakan pendekatan kualitatif-deskriptif, mengambil lokasi Kota Palangka Raya, Ibukota Provinsi Kalimantan Tengah. Data penelitian dikumpulkan dengan latar alamiah (natural setting) sebagai sumber data langsung. Pemaknaan terhadap data penelitian dilakukan apabila diperoleh kedalaman melalui fakta. Data primer diperoleh melalui informan (manusia) yang ditetapkan sebagai subjek atau informan kunci (key informan). Subjek atau informan dalam penelitian ini diambil dengan cara porpusive sampling yaitu mereka yang memenuhi kriteria: (1) subjek cukup lama dan intensif menyatu dengan medan aktivitas yang menjadi sasaran penelitian;    (2) subjek yang masih aktif terlibat dalam lingkungan aktivitas yang menjadi sasaran penelitian; (3) mempunyai waktu untuk diminta informasi yang diperlukan peneliti; (4) subjek tidak mengemas informasi tetapi relatif memberikan informasi yang sebenarnya. Adapun data sekunder dihimpun melalui dokumen-dokumen, brosur-brosur dan atau sejenisnya yang ada kaitannya dengan fokus studi ini. Data-data penelitian dijaring dengan menggunakan beberapa teknik; yakni teknik wawancara, observasi partisipan dan studi dokumentasi. Setelah data atau informasi dihimpun melalui teknik-teknik di atas, langkah selanjutnya dalam penelitian ini adalah menganalisis (analyzing) dan menafsirkan (interpreting) dan menyajikan hasilnya. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan model analisis interaktif kualitatif yang diajukan Miles dan Hubermas yang meliputi proses: data collection period, data reduction dan data display serta conclussion drawing/verification.

B.   Penyajian Data dan Pembahasan

1.      Sekilas Provinsi Kalimantan Tengah

    Provinsi Kalimantan Tengah dibentuk tahun 1957 dengan ibukota Palangka Raya. Provinsi yang lahir termuda di pulau Kalimantan ini merupakan pecahan dari Provinsi Kalimantan Selatan. (Sejarah Kalteng dalam http://sejarahbangsaindonesia.co.cc, diunduh pada 28 November 2009). Kota Palangka Raya berdiri sejak deklarasi Provinsi Kalimantan Tengah pada 23 Mei 1957. Lahirnya Kota Palangka Raya merupakan konsekwensi dari penetapan kampung Pahandut yang kemudian diganti nama menjadi Palangka Raya sebagai ibukota Provinsi Kalimantan Tengah.

    Wilayah Provinsi Kalimantan Tengah terletak pada bagian utara terdiri Pegunungan Muller Swachner dan perbukitan, bagian selatan dataran rendah, rawa, paya-paya. Berbatasan dengan tiga provinsi Indonesia yaitu Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat serta Laut Jawa. Iklim tropis lembab, dilintasi garis equator. Luas wilayah 157.983 km²  dan panjang pantai: 750 km.

    Kondisi alam sebagian belum diketahui, dengan ragam wilayah pantai, gunung / bukit, dataran rendah dan paya, segala macam vegetasi tropis mendominasi alam daerah ini. Orangutan merupakan hewan endemik yang masih banyak di Kalteng khususnya di wilayah Taman Nasional Tanjung Puting yang mencapai 300.000 Ha di Kabupaten Kotawaringin Barat dan Seruyan. Terdapat beruang, landak, owa-owa, beruk, kera, bekantan, trenggiling, buaya, kukang, paus air tawar (tampahas), arwana, manjuhan, biota laut, penyu, bulus, burung rangkong, betet / beo dan lain-lain bervariasi tinggi.

    Hutan mendominasi wilayah 80 %. Hutan primer tersisa sekitar 25 % dari luas wilayah. Lahan yang luas saat ini mulai didominasi kebun Kelapa Sawit mencapai 700.000 Ha (2007). Perkebunan karet dan rotan rakyat masih tersebar hampir diseluruh daerah, terutama di Kab Kapuas, Katingan, Pulang Pisau, Gunung Mas dan Kotawaringin Timur. Banyak ragam potensi sumber alam, antara lain yang sudah diusahakan batubara, emas, zirkon, besi. Terdapat pula tembaga, kaolin, batu permata dan lain-lain.

    Penduduk Kalteng berjumlah 2.004.110 pada 2006 dengan kepadatan 12/km². Penduduk Kalteng terdiri dari beragam suku dan agama yang dipeluk yakni: suku Banjar (24%), Ngaju (18%), Jawa (18%), Dayak Sampit (10%), Bakumpai (8%), pemeluk Islam (69,67%), Protestan (16,41%), Hindu (10,69), Katolik (3,11%), dan Buddha (0,12%). Sebutan umum suku Dayak yang ada di Kalteng adalah suku Dayak Ngaju (dominan), suku lainnya yang tinggal di pesisir adalah Banjar Melayu Pantai merupakan 25 % populasi. Di samping itu ada pula suku Jawa, Madura, Bugis dan lain-lain. Kaharingan adalah kepercayaan Penduduk asli Kalimantan Tengah yang hanya terdapat di daerah Kalimantan sehingga untuk dapat diakui sebagai agama maka digabungkan dalam agama Hindu

    Dari aspek budaya khususnya pendidikan, geliat dunia pendidikan di Kalimantan Tengah sekarang sedang berkembang dengan pesat. Hal tersebut ditandai dengan bermunculannya berbagai lembaga pendidikan dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi, baik yang dikelola pihak pemerintah maupun swasta. Lagu daerah yang terkenal adalah Kalayar, Naluya, Palu Cempang Pupoi, Tumpi Wayu, Saluang Kitik-Kitik, Manasai.

    Secara administratif pemerintahan, wilayah Kalteng terdiri dari 13 daerah kabupaten dan satu kotamadya dengan jumlah kecamatan 88, kelurahan/desa 1.136. Sebelum dimekarkan pada 2002, hanya ada lima kabupaten dan satu kotamadya (http://wikipedia.org/wiki/Kalimantan _Tengah,   diunduh pada 28 November 2009).[4]

    2. Elit Kultur NU

      Mengingat Nahdlatul Ulama bergerak di wilayah kultural dan bukan organisasi sosial politik (orsospol) maka elit NU disebut juga sebagai elit kultur. Elit kultur merupakan cerminan norma dan nilai-nilai pada organisasi NU. Elit kultur  NU berpegang pada ayat:

      110. kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS. Ali Imran: 110).

      Ayat ini telah dijadikan landasan utama dalam hubungan sosial maupun konsep-konsep ibadah lainnya. Cara penyampaian dalam berdakwah yang dilakukan para tokoh atau elit NU biasanya menggunakan pendekatan induktif.[5] Di samping itu NU  juga menggunakan pendekatan dan strategi dakwah yang lebih kompleks.

      Dalam konteks sejarah, NU tidak bisa dilepaskan dari tokoh sentral  organisasi ini yaitu KH Hasyim Asy’ari yang berasal dari latar belakang akademik pesantren. Dalam mendakwahkan dan menegakkan agama Islam  tokoh ini berangkat dari kultur sebuah komunitas muslim tradisional. KH Hasyim Asy’ari mendirikan NU pada 1926. Asy’ari memiliki komitmen untuk mengembangkan Islam. Warga NU, disebut juga kalangan nahdliyin, dominan berada di wilayah pedesaan.[6]

      Keberadaan elit kultur NU di Kalimantan Tengah tidak dapat dilepaskan dari keberadaan dan perkembangan agama Islam di wilayah Kalimantan secara keseluruhan. Sebelum Provinsi Kalimantan Tengah didirikan (tahun 1957), Kalteng merupakan bagian dari Provinsi Kalimantan Selatan. Karena itu kultur elit NU Kalteng pun banyak dipengaruhi oleh elit kultur NU Kalimantan Selatan.[7] Berdasarkan landasan historis tesebut maka dapat dikatakan bahwa kultur Islam, khususnya NU, di Kalimantan Tengah lebih banyak mengadopsi kultur Islam dari Kalimantan Selatan.

      3. Demokrasi, HAM dan Jender: Perspektif Elit NU Kalteng

        Nilai-nilai demokrasi dan HAM yang konsep awalnya nota bene berasal dari Barat seringkali ditentang (dipertentangkan) dengan Islam.  Salah satu isu yang mengemuka adalah tentang kompatibilitas (kecocokan) antara Islam dan demokrasi. Ada yang berpandangan bahwa demokrasi tidak cocok dengan Islam. Namun ada pula yang berpendapat nilai-nilai demokrasi dapat diadopsi sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Berikut ini dipaparkan beberapa pandangan elit NU Kalteng tentang nilai-nilai demokrasi dan HAM yang dikaitkan dengan ajaran Islam.

        Menurut Ahmadi Isa,[8] nilai-nilai demokrasi hanya sebagian yang sejalan dengan ajaran Islam seperti menghargai pendapat orang lain, menghormati persamaan dan hak asasi orang lain, saling menghargai, dan sebagainya, tetapi sebagian tidak sejalan seperti cara penentuan atau pemilihan pemimpin. Hal senada diungkapkan oleh Supyan Sayuthi[9], Abd Rahman dan Abdul Mukti.[10] Lebih lanjut Ahmadi Isa menjelaskan argumentasinya kalau menurut NU (Islam) pemimpin dipilih dengan cara musyawarah bukan dengan voting (suara terbanyak).  Ada konsep “khair” yakni baik menurut suara orang banyak, dan “ma’ruf” yakni baik menurut tuntunan wahyu (Qur’an & Hadits). Demokrasi itu pengertiannya berbeda-beda dan implementasinya juga berbeda-beda, karenanya sulit menentukan mana yang lebih dekat kepada “demokrasi Islam” kecuali jika merujuk kepada negara Madinah di bawah pimpinan Rasulullah Saw, disebut juga sebagai masyarakat madani. Para intelektual muslim Indonesia sudah mengarah ke sana seperti pemikiran Nurcholish Madjid, dsb. Inilah juga masyarakat yang ingin dibangun oleh NU. Hal senada diungkapkan juga oleh salah seorang sesepuh dan mantan ketua PWNU Kalteng, Supyan Sayuthi.

        Lebih jauh diungkapkan oleh Ahmadi Isa, dalam pemilihan atau penentuan pemimpin, menurut Islam lebih mendahulukan musyawarah untuk mufakat dan merujuk pada tuntunan wahyu, bukan dengan suara terbanyak (voting) seperti sering dipraktikkan menurut prinsip-prinsip demokrasi. Kalau terjadi pertentangan dalil antara akal dan wahyu dalam masalah-masalah muamalah, maka Islam lebih mendahulukan tuntunan wahyu. Ada kaidah dari imam al-Ghzali “dimana akal berhenti disitu agama bermula”. Demokrasi adalah sarana untuk menyalurkan keinginan atau aspirasi rakyat. Seperti untuk memilih pemimpin dsb. Ini terkait dengan konteks kemaslahatan bersama.

        Pada bagian lain keterangannya, Ahmadi Isa menegaskan:

        “Seperti saya jelaskan bahwa tidak semua prinsip demokrasi itu sejalan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. NU menerima Pancasila sebagai dasar negara dan asas organisasi, namun Islam bersifat universal sedangkan Pancasila adalah kesepakatan seluruh komponen bangsa Indonesia dan bersifat lokal atau spesifik Indonesia. Lihat konstitusi negara kita semuanya menggunakan istilah-istilah Islam seperti Ketuhanan Yang Maha Esa, musyawarah, keadilan sosial, dsb. Demokrasi yang kita kehendaki adalah demokrasi Islam yakni demokrasi yang tidak mengabaikan wahyu. Tidak mengandalkan rasionalitas semata tetapi memperhatikan tuntunan agama (wahyu Allah) yakni Qur’an dan Hadits.”

        Secara kelembagaan NU memandang bahwa ajaran Islam memiliki nilai-nilai yang sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi seperti prinsip-prinsip keseimbangan (tawazun),  musyawarah (syura), toleransi (tasamuh) dan keadilan.(‘adalah). Bagi elit atau Jam’iyah NU, menurut Ahmadi Isa, tidak ada masalah, mereka menerima demokrasi secara luas namun sebagian jamaah NU ada yang menolak karena dianggap tidak sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam seperti yang dia jelaskan terdahulu.

        Seperti yang dia ungkapkan bahwa sebagian jamaah NU menganggap konsep demokrasi tidak sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Dalam konsep demokrasi, rasionalitas lebih menonjol, sedangkan NU mendahulukan aspek teologis atau tuntunan wahyu baru aspek rasionalitas (akal).

        Mengenai gagasan “Negara Islam”, Ahmadi Isa setuju saja namun dia menegaskan bahwa dalam memandang hubungan agama dan negara, NU lebih moderat. Mengutip perkataan salah seorang tokoh nasional NU, Ahamdi Isa mengatakan “Pak Ideham pernah berkata, yang lebih penting bagi kita adalah bukan negara Islam secara formal tetapi bagaimana supaya syariat Islam dapat berjalan di negara ini”. Jadi, imbuh Ahmadi Isa,  NU tidak ekstrim seperti DI/TII.  Dia mencontohkan dalam soal Ahmadiyah, NU lebih persuasif, merangkul mereka untuk kembali ke jalan Tuhan (ud’u ila sabiili rabbika bilhikmati …) tidak dengan cara kekerasan.

        Sejalan dengan pandangan tersebut di atas, menurut Ahmadi Isa, dalam persoalan hubungan agama dan negara atau Islam dan demokrasi, NU bersifat moderat, dapat menerima perbedaan (khilafiyah) termasuk dalam memandang masalah-masalah muamalah seperti masalah kenegaraan namun NU memiliki prinsip-prinsip teologis (Ahlussunnah waljamaah) yang memberi tuntunan bagaimana seharusnya hubungan antara agama dan negara (demokrasi). Meski sebagian jamaah NU (kalangan awam) menolak konsep demokrasi seperti kedudukan perempuan sebagai pemimpin tertinggi di sektor publik. Hal senada diungkapkan pula oleh Supyan Sayuthi, Abd Rahman dan Abdul Mukti.

        Beberapa pandangan elit  NU Kalteng tentang nilai-nilai Islam dan HAM di atas cukup bervariasi. Secara teoritik pandangan tersebut dapat dikategorikan sebagai pandangan moderat dalam hubungan Islam dan politik.[11] Menurut hemat penulis, para elit NU Kalteng berpandangan moderat setidaknya karena faktor-faktor berikut: (a)  NU Kalteng secara inheren merupakan organisasi masyarakat sipil Islam terbesar yang sejak semula ikut serta memperjuangkan serta mendukung keberadaan dan keutuhan NKRI; (b) organisasi Islam ini berlandaskan pada paham keagamaan Islam sunni.

        4. Keterlibatan Elit NU Kalteng dalam Pemilu

        Salah satu fenomena menarik di era reformasi ini adalah banyaknya elit  Nahdlatul Ulama yang terjun ke wilayah “politik praktis”. Tidak sedikit dari mereka yang ikut serta berkompetisi dalam pemilihan umum legislatif maupun eksekutif. Hal ini terjadi baik pada pemilu legislatif, pilpres dan pilkada dengan sistem perwakilan (1999, 2000) maupun pemilu legislatif, pilpres dan pilkada langsung (2004, 2005, 2009). Pembahasan ini dibatasi hanya pada keterlibatan para  elit Nahdlatul Ulama Kalimantan Tengah dalam pemilu  dan kaitannya dengan gejolak internal organisasi.

        Menurut Ahmadi Isa, sesuai dengan prinsip dan komitmen NU kembali ke khittah 1926 bahwa NU menjaga netralitas terhadap seluruh kontestan pemilu. Namun secara moral ikut mendorong warga nahdliyin agar berpartisipasi aktif memilih pemimpin untuk kemaslahatan bersama. Karena pemilu pada hakikatnya adalah memilih pemimpin, sedangkan dalam ajaran Islam sudah ada aturan bagaimana memilih pemimpin.

        Dalam menyikapi pilkada gubernur tahun 2000, menurut Ahmadi Isa, NU Kalteng tetap menjaga netralitas sesuai dengan komitmen NU sebagai organisasi kemasyarakatan dan keagamaan. Namun NU tetap memberikan dukungan moral kepada para anggota DPRD untuk memilih pasangan calon gub-wagub yang mempunyai komitmen moral dan sejalan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. NU Kalteng menyerahkan sepenuhnya kepada hati nurani anggota DPRD untuk menentukan  pilihan mereka.

        Begitu pula pada pilkada gubernur tahun 2005, NU Kalteng tetap menjaga netralitas sesuai dengan komitmen NU sebagai organisasi kemasyarakatan dan keagamaan. Namun NU tetap memberikan dukungan moral kepada warga nahdliyin untuk memilih pasangan calon gub-wagub yang mempunyai komitmen moral dan sejalan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Mengingat pilgub kali ini dipilih langsung oleh rakyat, NU Kalteng menyerahkan sepenuhnya kepada hati nurani warga nahdliyin untuk menentukan  pilihan mereka

        Sementara itu menurut Abd Rahman, berkenaan dengan pemilu, baik legislatif maupun pemilu eksekutif dan pilkada, NU memberikan kebebasan kepada warga nahdliyin untuk melaksanakan hak pilihnya. Namun diingatkan dalam menentukan pilihan agar berhati-hati serta tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip ajaran moralitas. Di samping itu dalam menentukan pilihan warga NU dihimbau agar mempertimbangkan  kemaslahatan umat dan masyarakat.[12]

        Mengenai banyaknya anggota atau kader NU Kalteng yang terlibat dalam pemilu legislatif di era reformasi ini, menurut Abd Rahman, hal itu tidak mempengaruhi kinerja kepengurusan NU Kalteng. Karena hal itu bersifat individual dan di luar sistem organisasi. Mengenai banyaknya anggota atau kader NU Kalteng yang terlibat dalam pencalonan dalam pileg, hal itu secara umum, menurutnya tidak menimbulkan konflik internal dalam kepengurusan NU Kalteng. Namun dia mengakui, karena banyaknya kader NU yang terlibat dalam pencalonan kepala daerah dalam hal-hal tertentu bisa menimbulkan sedikit konflik.

        Keterlibatan elit NU Kalteng dalam pemilu legislatif maupun pemilu eksekutif di era reformasi ini, menurut hemat penulis, cukup mewarnai dan mempengaruhi konstelasi  politik di Kalimantan Tengah. Namun, satu hal penting yang belum ada gambaran jelas ialah apakah keterlibatan para elit “agama” dari NU Kalteng di kancah politik praktis tersebut dapat berperan secara signifikan dalam mengawal arus perubahan sistem politik di era reformasi ini ke arah yang lebih baik? Hal ini dapat dipahami karena belum adanya evaluasi baik yang dilakukan oleh NU Kalteng.

        5.  Pendidikan Demokrasi

        Menurut Abd Rahman, regenerasi (suksesi) kepemimpinan dalam organisasi NU Kalteng sudah mencerminkan prinsip-prinsip demokrasi. Demikian pula dengan struktur organisasi NU Kalteng sudah mencerminkan prinsip-prinsip demokrasi. Karena memang sudah diatur dalam Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga NU. Sedangkan dalam menyusun materi pendidikan demokrasi untuk anggota NU Kalteng sudah barang tentu memperhatikan sinergitas antara ajaran Islam dan kearifan budaya lokal. Meski tidak ada tim khusus dalam penyusunan konsep pendidikan demokrasi di kalangan NU Kalteng.

        Secara institusi di lingkungan NU Kalteng, yang telah menerapkan pendidikan demokrasi adalah Syuriah NU, Tanfidziyah NU dan berbagai badan otonom NU (Muslimat, Fatayat, GP Ansor, IPNU-IPPNU).

        Mengenai faktor apa saja yang diperlukan untuk mencapai keberhasilan pendidikan demokrasi di kalangan  warga NU Kalteng, menurut Abd Rahman adalah pemahaman sistem demokrasi, pengarahan atau arah yang tegas dan benar dari para tokoh orde reformasi yang baru dalam sistem demokrasi.

        Mengenai indikator keberhasilan pendidikan demokrasi di kalangan anggota NU Kalteng, menurut Abd Rahman dapat dijelaskan baik dari segi kognitif, afektif dan psikomotorik. Dari segi kognitif, terwujudnya sistem demokrasi dalam rapat-rapat pleno NU dan adanya sistem musyawarah di NU. Dari segi afektif adalah adanya kejelasan pentingnya peran NU dalam proses pembangunan pusat dan daerah. Sedangkan indikator keberhasilan pendidikan demokrasi di kalangan anggota NU Kalteng dari segi psikomotorik adalah adanya sistem rapat, sistem pleno, dan sistem musyawarah yang berkembang di NU.

        Meski belum pernah dilakukan evaluasi menyeluruh tentang pendidikan demokrasi untuk kalangan anggota/warga NU selama ini namun secara interpersonal terus dikaji dan diperbaiki. Menurut Abd Rahman, dalam pengamatannya NU Kalteng sangat menerapkan prinsip-prinsip demokrasi dalam aktivitas kesehariannya.

        Mengenai hasil evaluasi pendidikan demokrasi melalui lembaga pendidikan formal NU Kalteng (civic education) selama era reformasi (1998-2009) menurut Abd Rahman sangat baik, positif, didukung banyak kalangan, dapat membawa kemajuan NU. Mengenai keterlibatan kader-kader NU dalam jaringan pendidikan pemilih untuk rakyat (JPPR) Kalteng. Abd Rahman mengakui memang ada dan pada umumnya kader-kader NU menjadi pengerah demokrasi dan  menjadi nafas NU dalam memahami sistem demokrasi.

        Mengenai evaluasi terhadap pelaksanaan pendidikan demokrasi (civic education) di kalangan warga NU, menurut Abd Rahman, hal itu telah dilakukan, hanya saja tidak secara formal. Evaluasi itu dilakukan saat rapat-rapat NU untuk ditindak lanjuti. Sedangkan institusi NU  yang selama ini dianggap intens melaksanakan pendidikan demokrasi adalah hampir semua level NU dan badan-badan otonom seperti lembaga dan  lajnah. Termasuk program sensitivitas jender yang dilaksanakan melalui organisasi-organisasi wanitanya (Muslimat NU, Fatayat NU dan IPPNU).

        Abd Rahman mengakui adanya kecenderungan sebagian anggota NU menolak penerapan demokrasi Barat  karena mereka menganggap demokrasi Barat tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Namun, menurutnya, warga nahdliyin pada umumnya menerima sistem demokrasi yang dilandasi ajaran-ajaran dan prinsip etik serta moral. Dia juga mengakui bahwa warga NU umumnya tidak begitu mengerti konsep demokrasi yang lebih jelas, dan penerapannya (secara formal) hanya di lingkungan pendidikan tertentu saja.

        Selama era reformasi (1998 – 2009) ini NU Kalteng tidak pernah menghadapi kendala atau hambatan dalam menjaga hubungan yang selaras dengan pemerintah daerah setempat.  Umumnya NU Kalteng sejalan dan  senafas saja dalam berbagai program pembangunan.

        Menurut Abd Rahman, selama era reformasi ini (1998-2009),  NU Kalteng turut berperan serta dalam  mewujudkan pemilu yang luber, jujur dan adil yakni dengan  mendorong warga NU mengerti demokrasi, menggunakan hak pilih, melaksanakan demokrasi dengan baik, mengembangkan etik dan prosedur yang benar dalam berdemokrasi.

        Dari paparan di atas semua responden menunjukkan bahwa pendidikan demokrasi sudah terlaksana dan diterapkan di semua level organisasi NU Kalteng. Namun pendidikan demokrasi dimaksud belum dituangkan secara konsepsional, sistematis dan terencana (terutama di luar jalur formal).

        6.   Kerjasama NU Kalteng  dengan OMS Lain

        Menurut Abd Rahman, NU Kalteng menjalin kerjasama dengan organisasi masyarakat sipil (OMS) lain dalam bidang silaturrahmi dan komunikasi, serta pembinaan umat secar non formal. NU Kalteng menjalin kerjasama dengan OMS lain bertujuan untuk menjalin silaturahmi dan komunikasi dengan kerjasama membina umat dengan target terwujudnya kondisi yang aman dan sejahtera, terwujudnya rasa kebersamaan dan terbangunnya kerjasama yang baik.

        Menurut Abd Rahman, secara umum NU Kalteng tidak pernah ada kendala dalam menjalin kerjasama dengan OMS lain. Sedangkan faktor-faktor yang dipertimbangkan oleh NU Kalteng dalam menjalin kerjasama dengan OMS lain adalah kesamaan visi-misi, perjuangan dan dasar pembinaan umat. Selama periode reformasi ini (1998 – 2009), menurutnya,  ada kenaikan secara tajam dalam grafik kerjasama NU Kalteng dengan OMS lain. Namun, sejauh ini NU Kalteng hanya menggandeng OMS dalam negeri dan belum pernah menjalin kerjasama dengan OMS luar negeri.

        Akses untuk kerjasama NU Kalteng selama ini tampaknya terbatas hanya dengan OMS dalam negeri. Para elit perlu memikirkan untuk memperluas (ekspansi) kerjasama ini hingga ke luar negeri untuk lebih mengangkat citra daerah dan citra Islam Indonesia sekaligus kepada dunia internasional.

        C.   Kesimpulan dan Rekomendasi

        Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

        1. Elit Nahdlatul Ulama Kalteng memiliki pandangan terhadap nilai-nilai demokrasi, HAM dan kesetaraan jender, antara lain sebagai berikut :            (a) elit NU Kalteng memandang bahwa nilai-nilai demokrasi dan HAM umumnya sejalan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam dan sebagian tidak sejalan;   (b) para elit  NU Kalteng memandang bahwa masih ada kesenjangan antara konsep demokrasi dengan implementasi demokrasi di lapangan yang menimbulkan persoalan-persoalan tertentu; dan (c) pemahaman warga NU Kalteng terhadap konsep demokrasi dan HAM bervariasi. Ada kesenjangan pemahaman antara elit dan jamaah/anggota organisasi. Namun demikian, perspektif para elit dan jamaah  NU Kalteng terhadap konsep demokrasi pada umumnya berada pada kategori moderat dan agak akomodatif, tetapi tidak ekstrim.
        2. Keterlibatan para elit maupun anggota/kader NU Kalteng dalam pemilu bersifat individual dan di luar sistem kedua organisasi ini. Hal ini mengingat NU Kalteng adalah organisasi keagamaan dan kemasyarakatan, dan bukan organisasi politik, bersikap netral terhadap semua kontestan pemilu, meski tidak buta terhadap politik. Bahkan secara moral memberikan dorongan dan motivasi kepada warganya masing-masing untuk menggunakan hak pilih dan berpegang teguh pada prinsip etika dan oralitas dalam berdemokrasi. Banyaknya anggota/kader NU yang terlibat dalam pencalonan sebagai peserta pada pemilu legislatif dan eksekutif selama era reformasi ini tidak menimbulkan konflik internal yang berarti bagi kedua organisasi. Hal ini karena organisasi ini dalam menghadapi persoalan tersebut memiliki mekanisme internal yang mapan.
        3. Pendidikan demokrasi secara non formal di kalangan warga NU Kalimantan Tengah dapat berjalan sesuai dengan mekanisme organisasi. Meski tanpa perumusan secara formal pendidikan demokrasi secara inheren berjalan di organisasi ini dalam bentuk rapat-rapat pengurus, pemilihan (regenerasi) kepengurusan, orientasi organisasi, pelatihan dan sebagainya. Penerapan pendidikan demokrasi di kalangan warga NU Kalteng diselaraskan dengan nilai-nilai etika dan prinsip-prinsip ajaran Islam, serta nilai-nilai kearifan lokal. Hal ini sesuai dengan landasan kedua organisasi yang berorientasi pada nilai-nilai atau norma-norma agama, etika dan moralitas, nilai-nilai kebangsaan, serta prinsip-prinsip keseimbangan (tawazun),  musyawarah (syura), toleransi (tasamuh) dan keadilan.(‘adalah).
        4. NU Kalteng pada dasarnya terbuka untuk bekerjasama dengan pihak luar sepanjang sesuai dengan visi dan misi organisasi. Baik kerjasama secara umum maupun secara khusus. Kerjasama secara khsusus ditangani oleh badan-badan otonom organisasi NU yakni Muslimat, Fatayat, GP Ansor, IPNU-IPPNU yang memiliki kewenangan untuk menjalin kerjasama dengan organisasi masyarakat sipil yang lain sesuai dengan kekhususan bidang masing-masing. Bidang-bidang tersebut adalah pendidikan, kesehatan, ekonomi dan dakwah-keagamaan. Sejauh ini, khususnya di era reformasi  organisasi ini dapat menjalin kerjasama dengan OMS lain maupun pemerintah setempat tanpa hambatan yang berarti.

          Berdasarkan beberapa temuan dan hasil pembahasan dalam penelitian ini, penulis memberikan beberapa rekomendasi sebagai berikut:

          1. Nahdlatul Ulama Kalteng dari ranah (scoup) terbesar hingga terkecil diharapkan lebih meningkatkan sosialisasi tentang relevansi nilai-nilai demokrasi (termasuk HAM dan keseteraan jender) dengan Islam dan lebih banyak mengaplikasikannya ke dalam aktivitas organisasi secara praktis sehingga para warga/jamaahnya masing-masing dapat memahami dan menerapkan nilai-nilai demokrasi dan prinsip-prinsip Islam secara simultan dalam aktivitas keseharian mereka.
          2. Mengingat masyarakat Kalteng yang pluralis, khususnya dari segi agama dan budaya, dan adanya gejolak eforia politik sesaat yang dikhawatirkan mengarah pada ekstrimitas, yang dapat meruntuhkan sendi-sendi keutuhan bangsa di daeah ini, maka saatnya kalangan akademisi memberikan kontribusi pemikiran dengan mengangkat dan  mewacanakan kembali (re-thinking) tentang relasi agama dan negara (Islam dan politik) yang bersifat moderat dan substantifistik di tingkat lokal. Dalam hal ini sudah saatnya para akademisi baik yang berlatar belakang studi agama (religious studies dan Islamic studies) maupun social sciences dan humaniora untuk saling bertegur sapa dalam forum dialogis-interaktif. (ssd).


          [1] Isi artikel ini sebagian besar diadopsi dari hasil penelitian lapangan (field research) penulis tahun 2009.

          [2] Penulis adalah dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Palangka Raya.

          [3] Nahdliyyin adalah sebutan bagi jamaah atau warga NU.

          [4] Enam kabupaten/kota induk ialah Kota Palangka Raya, Kabupaten Barito Selatan ibukotanya Buntok,  Kabupaten Barito Utara ibukotanya Muara Teweh, Kabupaten Kapuas ibukotanya Kuala Kapuas, Kabupaten Kotawaringin Barat ibukotanya Pangkalan Bun, Kabupaten Kotawaringin Timur ibukotanya Sampit, sedangkan delapan kabupaten pemekaran yakni Kabupaten Barito Timur ibukotanya Tamiang Layang, Kabupaten Murung Raya ibukotanya Purukcahu, Kabupaten Gunung Mas ibukotanya Kuala Kurun, Kabupaten Katingan ibukotanya Kasongan, Kabupaten Lamandau ibukotanya Nanga Bulik dan Kabupaten Pulang Pisau ibukotanya Pulang Pisau, Kabupaten Sukamara ibukotanya Sukamara dan Kabupaten Seruyan ibukotanya Kuala Pembuang.

          [5] Nasir, “Mencairnya Batas Komunikasi Sosial-Keagamaan Elit NU-Muhammadiyah di Metro Lampung” dalam Irwan Abdullah, “Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantang Global”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, h. 420.

          [6] Ibid., h. 421. KH Hasyim Asy’ari pernah berguru kepada Syaikh Ahmad Katib Minangkabawi,  ulama besar madzhab Syafi’i di Makkah. Lihat Adi Permana, “Tentang Muhammadiyah dan NU” dalam http//www.klikmuh.blogspot.com, diunduh pada 28 Desember 2008.

          [7] Pada makalah berjudul Ikhtisar Sejarah Nahdlatul Ulama Cabang Martapura yang ditulis oleh KH. Barmawi Yusuf salah seorang sesepuh NU Kabupaten Banjar disebutkan bahwa Organisasi Nahdlatul Ulama (NU) Cabang Martapura  merupakan pengurus cabang NU tertua di Kalimantan. Menurut Barmawi Yusuf, NU pertama kali dibawa ke Martapura oleh KH. Abdul Kadir Hasan salah seorang santri Pesantren Tebuireng Jombang pimpinan KH. Hasyim Asy’ari yang merupakan pendiri NU pada tahun 1926. Nahdlatul Ulama di Martapura dibentuk tahun 1928 dan untuk melebarkan sayapnya ke daerah-daerah, pada tahun itu NU juga lahir di Kuala Kapuas yang dibawa oleh Ahmad Sanusi seorang guru Arabia School Kuala Kapuas Kalimantan Tengah. NU Cabang Martapura saat itu mewilayahi Banjarmasin, Kuala Kapuas dan Hulu Sungai. NU Cabang Martapura Tertua di Kalimantan dalam http//banjarkab.go.id, diunduh pada 28 November 2009.

          [8] Prof. Dr. H. Ahmadi Isa, M.A., adalah salah seorang tokoh NU Kalteng, mantan  Ketua Lembaga Dakwah NU Kalteng dan pernah menjabat  Ketua Tanfidziyah atau Ketua Pengurus Wilayah NU Kalteng (tahun 2000-2002), profesi sehari-harinya adalah guru besar Universitas Negeri Palangka Raya (Unpar).

          [9] H. Supyan Sayuthi, BA adalah alumni angkatan pertama Fakultas Tarbiyah Al-Jami’ah Palangka Raya (sekarang STAIN Palangka Raya), pernah bekerja sebagai pengusaha/eksportir kayu dan rotan. Sejak remaja aktif di organisasi NU dan pernah menjabat ketua MWC NU Anjir Kapuas (1965) dan ketua Tanfidziyah NU Kalteng tiga periode yakni 1971-1977, 1977-1982, dan 1982-1987 dan menjadi anggota DPRD Kalteng fraksi PPP selama tiga periode yakni 1971-1977, 1977-1982, dan 1982-1987.

          [10] Drs. H. Abd Rahman dan Ir. H. Abdul Mukti, MP adalah tokoh dan aktivis Nahdlatul Ulama Kalimantan Tengah, masing-masing pernah menjabat ketua umum dan sekretaris umum Pengurus Tanfidziyah Nahdlatul Ulama Wilayah Kalimantan Tengah (periode 2005-2010).

          [11] Menurut Adnan, seperti dikutip oleh Ali Maschan Moesa, hubungan agama dan negara dalam konteks keindonesiaan dapat dibagi menjadi tiga kategori. Pertama, kelompok akomodatif, yang dipelopori oleh Nurcholis Madjid. Nurcholis berpandangan bahwa kehidupan spiritual diatur oleh agama dan kehidupan duniawi diatur oleh logika duniawi. Kedua, kelompok moderat dengan tokoh Amien Rais, Jalaluddin Rahmat, dan Imaduddin Abdurrahim. Kelompok ini berpendirian bahwa Islam tidak hanya dipahami sebagai agama, tetapi juga sebagai ideologi.Islam ialah agama totalistik (kaffah) yang mengatur segala aspek kehidupan masyarakat, termasuk di dalamnya kehidupan sosial politik. Ketiga, kelompok idealis-radikal. Kelompok ini beranggapan bahwa Islam berada di atas semua ideologi sehingga untuk memperjuangkannya diperlukan cara-cara kekerasan dan sekaligus menolak ideologi Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi organisasi sosial dan bahwa agama harus menjadi ideologi menggantikan Pancasila. Pandangan ini pada visi dan aksi Abdul Qadir Jaelani. Lihat Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai: Konstruksi Sosial Berbasis Agama, (Yogyakarta: LKiS, 2007), h. 27-28.

          [12] Untuk panduan bagi warga NU dalam menghadapi Pemilu 2004,  PBNU mengeluarkan Sembilan Pedoman Politik Warga NU dan Syuriah PBNU mengeluarkan Qaraar Syuriyah PBNU yang masing-masing berisi sembilan pernyataan/himbauan kepada warga NU dalam menyikapi Pemilu 2004. Lihat Suaidi Asyari, Nalar Politik NU & Muhammadiyah, (Yogyakarta: LKiS, 2009), h. 400-404.