Pembelajaran Bahasa Asing Komunikatif sebagai Upaya Pemberdayaan dan Peningkatan Kemandirian Masyarakat

Siminto*)

Abstract

Education plays an important role in improving the quality of human resources. One model of education that expected to produce qualified human resources, increase independence, and empower the community is learning of the foreign language. The objective of learning foreign languages is to create self-reliance and community empowerment. In other words, it is oriented to the needs of the community. By learning of that foreign language, it should be in synergy with the selection of teaching materials and appropriate learning media with the selection of appropriate teaching methods as well. Like or dislike, revolution and the selection of curriculum materials quality in foreign language learning should be done. Foreign language learning should be synergy with the subjects or courses in human resource development and entrepreneurship education, for example, they are capable of producing human resources that have the hard skills of qualified foreign language communicative, also have soft skills that make them appear to be individuals who are capable of creating self-reliance and empower people.

Keywords: learning, foreign language, curriculum, teaching materials


Pendahuluan
Pengajaran adalah proses untuk membantu seseorang untuk belajar bagaimana mengerjakan sesuatu, memberikan instruksi, membimbing dalam mempelajari sesuatu, memberikan pengetahuan, dan menyebabkan seseorang menjadi tahu atau mengetahui. Pengertian konsep pengajaran sering disamakan dengan konsep pembelajaran yang memang mempunyai hubungan yang erat. Bila dilihat dari segi definisi, memang hampir tidak ditemukan perbedaannya. Adapun pembelajaran adalah suatu proses untuk memperoleh atau mendapatkan pengetahuan tentang subjek atau ketrampilan yang dipelajari, pengalaman, atau instruksi.[1]
Bila ditinjau dari perkembangan proses belajar mengajar bahasa menurut kurikulum pendidikan bahasa dan sastra di Indonesia pada tahun 1950, 1958, 1968, dan 1984 penggunaan istilah pengajaran tampak lebih dominan. Perubahan tampak pada kurikulum pendidikan bahasa dan sastra tahun 1994, penggunaan istilah pembelajaran tampak lebih menonjol. Pendidikan bahasa dan sastra selalu mengacu kepada kemampuan berkomunikasi secara komunikatif, maka penggunaan istilah pembelajaran yang lebih dikedepankan. Hal ini disebabkan istilah pembelajaran sangat erat kaitannya dengan pelaksanaan pendekatan komunikatif.
Pada istilah pengajaran mengandung makna bahwa guru mengajar dan subjek belajar atau siswa belajar. Makna ini mengandung suatu pemahaman bahwa guru dituntut lebih aktif daripada siswa. Subjek belajar atau siswa lebih banyak mendengarkan, memperhatikan, dan mencatat penjelasan guru. Kegiatan belajar mengajar menjadi lebih berpusat kepada guru. Adapun pada istilah pembelajaran, mengandung makna bahwa subjek belajar atau siswa harus dbelajarkan bukannya diajarkan. Kegiatan belajar mengajar berpusat pada subjek belajar. Subjek belajar atau siswa dituntut lebih aktif untuk mencari, menemukan, menganalisis, memecahkan masalah, merumuskan, dan menyimpulkan suatu masalah.
Jika dikaitkan dengan pembelajaran bahasa asing, Scarino, Vale, dan Clark mengidentifikasikan delapan prinsip pembelajaran agar siswa dapat belajar secara optimal, sebagai berikut:[2]

  1. Subjek belajar atau siswa diperlakukan sebagai individu dengan kebutuhan dan minatnya sendiri-sendiri.
  2. Subjek belajar atau siswa diberi kesempatan mempergunakan bahasa target untuk berkomunikasi dalam berbagai kegiatan belajar mengajar.
  3. Subjek belajar atau siswa banyak diaktifkan dengan bahasa target yang dipergunakan dalam proses komunikasi baik lisan maupun tertulis, menurut kemampuan, kebutuhan, dan minat mereka.
  4. Subjek belajar atau siswa dihadapkan pada aspek struktur verbal bahasa target dan mengkaji makna budaya yang terkandung dalam bahasa target.
  5. Subjek belajar atau siswa ditunjukkan pada aspek sosial budaya penutur asli bahasa target dan pengalaman langsung dalam budaya bahasa target.
  6. Subjek belajar atau siswa diberi umpan balik yang efektif tentang kemajuan belajarnya secara berkelanjutan.
  7. Subjek belajar atau siswa diberi kesempatan untuk mengelola gaya belajarnya sendiri. 

Pembelajaran bahasa asing yang baik hendaknya bersifat komunikatif, yaitu mengarah pada kelancaran berkomunikasi dalam bahasa asing tersebut secara aktif. Komunikatif mengarahkan kepada kemampuan untuk mempertukarkan ide-ide, gagasan, informasi, dan sebagainya antara dua orang atau lebih.[3] Dengan kata lain komunikatif mengarahkan kepada kemampuan untuk mempertukarkan dan memperundingkan informasi antara paling sedikit dua orang melalui penggunaan lambang-lambang verbal dan non verbal, mode-mode lisan atau tulisan, serta proses produksi dan komprehensi.[4]
Pembelajaran bahasa asing dapat berkembang dalam kerangka pendidikan. Pendidikan di sini bisa berupa pendidikan formal yang diselenggarakan di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, juga bisa berupa pendidikan informal di luar sekolah, misalnya kursus ketrampilan berbahasa asing. Idealnya pendidikan yang baik dan dikatakan berhasil bila para peserta didiknya setelah lepas dari lembaga pendidikan, mampu memberdayakan masyarakatnya, minimal mampu memberdayakan diri mereka sendiri, dan mampu memanfaat kepandaiannya untuk mencapai kemandirian dalam berbagai bidang, terutama mandiri secara ekonomi.
Keberhasilan pendidikan bukan tanggung jawab pemerintah semata, akan tetapi lembaga pendidikan baik dari strata terbawah (taman kanak-kanak) sampai tertinggi (perguruan tinggi) dan masyarakat ikut bertanggung jawab. Memang tujuan pendidikan bukan semata menciptakan seseorang untuk dapat bekerja, akan tetapi semestinya pendidikan yang diperolehnya dapat menyiapkan bekal untuk mempermudah mendapat kemandirian dalam berbagai bidang terutama ekonomi, melalui pekerjaaan yang mapan.
Pendidikan yang diberikan kepada peserta didik harus memperhatikan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Kecenderungan pendidikan yang sekarang lebih tertumpu kepada aspek kognitif, seperti hafalan dan kurang kepada kedua aspek lainnya, maka makin membuat peserta didik kurang tanggap dan tangguh dalam menghadapi sesuatu masalah yang baru. Akibatnya, peserta didik cenderung mengejar nilai yang tinggi, akan tetapi sering kurang mengerti akan sustansinya. Jika seperti ini jadinya, tujuan pendidikan yang menjadi jalan membuat para peserta didik mampu memberdayakan masyarakat dan mandiri, menjadi gagal total.
Sedangkan upaya pemberdayaan masyarakat pada dasarnya adalah proses dari, oleh dan untuk masyarakat, yaitu ketika masyarakat didampingi/ difasilitasi dalam pembelajaran (yaitu menemukan, menganalisis, memecahkan masalah, merumuskan, dan menyimpulkan suatu masalah), mengambil keputusan, dan berinisiatif sendiri agar mereka lebih mandiri dalam pengembangan dan peningkatan taraf hidup mereka.
Istilah pemberdayaan masyarakat (empowerment) adalah sebuah istilah yang sudah familier bagi kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), akademisi, organisasi sosial kemasyarakatan bahkan kalangan pemerintahan. Istilah pemberdayaan ini muncul hampir bersamaan dengan adanya kesadaran akan perlunya partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Hal ini diasumsikan bahwa tanpa adanya partisipasi masyarakat niscaya pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah tidak akan memperoleh kemajuan yang berarti. Adanya gagasan bahwa partisaipasi masyarakat itu seyogyanya merefleksikan kemandirian bukanlah tanpa alasan. Tanpa adnya kemandirian maka suatu bentuk partisipasi masyarakat itu tidak lain hanya sebuah mobilisasi belaka.
Secara konseptual, pemberdayaan terkait erat dengan proses tranformasi sosial, ekonomi, politik dan budaya.[5] Pemberdayaan bisa dimaknai sebagai proses penumbuhan kekuasaan dan kemampuan diri dari kelompok masyarakat yang miskin lemah, terpinggirkan dan tertindas. Melalui proses pemberdayan diasumsikan bahwa kelompok sosial masyarakat terbawah sekalipun bisa saja terangkat dan muncul menjadi bagian masyarakat menengah dan atas. Hal ini bisa terjadi kalau saja mereka diberi kesempatan dan mendapat bantuan dan difasilitasi pihak lain yang punya komitmen untuk itu. Kelompok miskin di suatu pedesaan misalnya, tidak akan mampu melakukan proses pemberdayaan sendiri tanpa bantuan atau difasilitasi pihak lain. Harus ada kelompok atau seseorang, suatu lembaga yang bertindak sebagai agen pemberdayaan bagi mereka.
Pemberdayaan masyarakat berbeda dengan apa yang selama ini dipahami orang dengan pendekatan karikatif (memberi bantuan dengan dasar belas kasihana) dan pengembangan masyarakat (community development) yang biasanya berisi pembinaan, penyuluhan, bantuan teknis, dan manajemen serta mendorong kemandirian/ keswadayaan. Dua pendekatan pembangunan di atas biasanya ada intervensi dari orang luar yang mengambil inisiatif, prakarsa, memutuskan, dan melakukan sesuatu sesuai dengan pikirannya sendiri. Masyarakat diikutkan sebagai objek pembangunan, pihak luar berfungsi sebagai pembina, penyuluh, pembimbing dan pemberi bantuan.
Dari penjelasan di atas bisa dipahami bahwa esensi pemberdayaan masyarakat adalah proses dari, oleh, dan untuk masyarakat, suatu keadaan ketika masyarakat didampingi/ difasilitasi dalam mengambil keputusan dan berinisiatif sendiri agar mereka lebih mandiri dalam pembangunan dan peningkatan taraf hidup mereka, sedang pihak lain hanya berfungsi sebagai fasilitator. Sedangkan masyarakat adalah subyek pembangunan dan pihak luar berperan sebagai fasilitator.
Pemberdayaan masyarakat juga bertujuan untuk meningkatkan potensi masyarakat agar mampu meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik bagi seluruh warga masyarakat melalui kegiatan-kegiatan swadaya. Untuk mencapai tujuan ini, faktor peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan formal dan nonformal perlu mendapat prioritas. Memberdayakan masyarakat bertujuan “mendidik masyarakat agar mampu mendidik diri mereka sendiri” atau “membantu masyarakat agar mampu membantu diri merekka sendiri”. Tujuan yang akan dicapai melalui usaha pemberdayaan masyarakat, adalah masyarakat yang mandiri, berswadaya, mampu mengadopsi inovasi, dan memiliki pola pikir yang kosmopolitan.
Pada makalah ini, penulis akan mencoba memaparkan revolusi kurikulum dalam pembelajaran bahasa asing secara komunikatif sebagai salah satu upaya menuju pemberdayaan dan membantu meningkatkan kemandirian masyarakat, agar mampu berperan secara aktif dalam setiap gerak pembangunan. Dengan kemampuan bahasa asing yang dimiliki, diharapkan masyarakat mampu mandiri secara ekonomi menuju kesejahteraan bersama. Tentu saja, pengusaan bahasa asing komunikatif saja tidak cukup, harus disertai dengan penguasaan kemampuan lain yang penting bagi masa depan peserta didik, seperti kemampuan interpersonal dan kewirausahaan yang baik.

*) Dosen Prodi TBI STAIN Palangkaraya